“Menangisi sang Garuda“
OPINI | 12 September 2009 |Sumber: http://umum.kompasiana.com/2009/09/12/me…
“Garuda Pancasila, akulah pendukungmu;
Patriot proklamasi, sedia berkorban untukmu;
Pancasila dasar negara;
Rakyat makmur adil sentosa;
Pribadi bangsaku;
Ayo maju… maju;
Ayo maju… maju;
Ayo maju… maju.”
Sebelumnya ingin kuucapkan: “Selamat Hari Ulang Tahun Pak Presiden SBY ke 60, Semoga Panjang Umur dan Sejahtera Selalu.” Sebagai salah seorang rakyat/warganegara Indonesia yang percaya kepada konsep Pancasila dengan “Garuda Pancasila” sebagai simbol/lambang negara, kuyakini penggalan syair “akulah pendukungmu; patriot proklamasi; sedia berkorban untukmu.”
Walaupun dengan hati perih dan berderai airmata yang bercucuran tak tertahankan ketika secara lirih perlahan kunyanyikan bait demi bait didalam syair lagunya, serta meresapi makna sangat dalam yang terkandung pada isi syairnya. Sebagai warganegara yang baik kutetapkan dalam hati ini melalui pernyataan: “Jangan tanyakan apa yang bisa aku peroleh dari negriku, namun apa yang mampu aku berikan kepada negriku” (Kennedy, 1960).
Tulisan ini sebanarnya adalah satu dari sekian tulisanku yang hendak kubuang ketong sampah diruang perpustakaan karena telah beberapa hari ‘ngendon’ didalam komputerku karena serasa tidak pernah berhasil mampu kuselesaikan pasca pertemuan ‘mewah’ diruang kerja Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) Prof. Dr. Mahfud MD, SH, SU dilantai 15 Gedung MK di Jakarta pada pukul 16.00 sore hari bertepatan dengan HUT ke 60 Presiden SBY tertanggal 9 bulan 9 tahun 2009 sekaligus tenggat waktu kadaluwarsa penetatapan Keputusan KPU atas terkatung-katungnya nasib Anggota Legislatif Putaran 3 (tiga) yang berhak duduk di DPR RI mewakili rakyat dari wilayah konstituennya.
1. Elang Jawa sang Garuda Pancasila
Banyakkah dari kita yang faham bahwa simbol negara kita Garuda Pancasila adalah datang dari sang Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) yang merupakan salah satu spesies elang berukuran sedang endemik di Pulau Jawa. Sehingga secara bercanda sering saya sampaikan kepada banyak teman yang dekat dihati bahwa kalau kita perhatikan – maafkan saya karena hanya ingin bercanda dan tak ada maksud sara atau melecehkan suku lain ditanah air – bahwa sebenarnya NKRI itu sudah ‘setengah terkutuk’ selalu orang Jawa yang akan menjadi pemimpin negeri ini. Yaitu Kepala Negara yang sekaligus Kepala Pemerintahan didalam sitem pemerintahan Presidensil cq Presiden Republik Indonesia – adalah wajib dan harus dan ‘wajib dan harus dan wajib dan harus dan wajib dan harus’ Orang Jawa. Kenapa? Yah… karena simbol Jawa ada dalam simbol NKRI. Apakah simbol tersebut adalah seekor burung yang hanya ada sebagai endemik di Pulau Jawa doang-only-thok-sajaaaa…? “Ya, simbol/metaphor Orang Jawa yang di-convey dalam Elang Jawa (Spizaetus bartelsi),” jelasku ringan kepada mereka semua.
Hmmm… disetujui atau tidak, bukankah kita sudah menggunakan simbol in sejak awal kemerdekaan tahun 1945 lalu? Pernahkah kita mengingat bahwa disaat kita sekolah di SD sampai dengan SMA bahwa Garuda Pancasila adalah Spizaetus bartelsi sang Elang Jawa yang hanya hidup/endemik dipulau Jawa semata? Akankah itu berpengaruh kepada anak-anak Indonesia yang non-Jawa dan bukan berasal dari Pulau Jawa? Apakah jargon Bhineka Tunggal Ika yang ada pada pita dikepit dalam cakar kuat kaki sang Elang Jawa menyiratkan bahwa yang non-Jawa ada didalam cengkeraman sang Jawa?
Menurut pendapat saya pribadi, sejauh yang non-Jawa ada didalam cengkeraman sang Jawa berada dalam jantung-hati Pancasila, sampai sejauh itu akan fine-fine sajaaa… Artinya mau dia sang Jawa ataupun sang non-Jawa, sejauh seluruh sila yang termaktub didalam isi pasal-pasal dalam Pancasila diakomodir dan diimplementasikan akan berjalan dengan “halalan thoyiba.” Jalankan saja cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang telah dituangkan kedalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Siapapun yang menjadi pemimpin di Indonesia dari tingkat pusat sampai ke segala daerah disegala tingkatan, tinggal melaksanakan seluruh “warisan/amanat” para founding-fathers kita dahulu. Apa itu cita-cita Proklamasi 1945, kenapa sesungguhnya kita harus merdeka dari seluruh penjajahan dibumi Pertiwi, dan lain sebagainya.
Terdapat empat buah cita-harap yang mendasari kemerdekaan Republik Indonesia yang jika dilaksanakan oleh siapapun yang menjadi pemimpin di Indonesia maka akan dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kejayaan Nusantara, yaitu: (1) melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa;(4) ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Itulah semangat-spirit-ruh dari para founding-fathers kita dahulu saat mendirikan Republik Indonesia. Ditahun 2009 ini setelah Pilpres dilaksanakan, menjadi pertanyaan besar apakah Pemerintahan Rezim SBY telah dengan jelas menunujukkan keberpihakannya kepada upaya perlindungan segenap bangsa Indonesia serta tumpah darahnya termasuk didalamnya memajukan kesejahteraan umum? Ketika Indonesia dihadapkan dengan persaingan global dengan HDI (Human development Index) sangat rendah, dengan wajib belajar hanya 9 tahun hingga kelas 3 SMP, apa yang dapat diharapkan menjadi competitive advantage anak-bangsa negeri ini didalam keikut sertaan didalam perdaiaman dunia? Tentunya para founding-fathers kita dahulu tidak mencita-citakan anak-bangsanya menjadi generasi ‘koeli’ ditingkat internasioanl yang sepulang dari tempat kerja tinggal membawa cacat badan karena penganiayaan majikan dan anak berambut keriting tak berayah? Para perempuan perkasa yang telah memberikan sumbangsih pendapatan nasional setidaknya sekitar Rp 150 Trilyun,- setiap tahun, tidak harus terpaksa keluar kampung halamannya bila saja negeri ini tetap memberikan fokus bagi dunia pertanian dimana sebagian besar penduduk negeri ini tergantung dari penghasilan usaha tani. Bergeser kelautan? Allah Azza wa Jalla meberikan laut luas bagi kita anak bangsa tanpa harus memeliharanya, semua tinggal tangkap saja asalkan mampu membelaki diri dengan armada dan peralatan tangkap yang terus berinovasi serta mampu menghalau penagkap ikan liar dari negeri tetangga. Leang Jawa dalam Garuda Pancasila menyiratkan Indonesia membutuhkan seorang pemimpin yang jeli setajam mata elang yang mampu fokus dan menukik didalam menangkap seluruh peluang/opportunity demi me-leverage kemakmurannya bukan dengan sekedar bagi-bagi BLT namun rakyat juga yang harus membayar pinjaman dasar dan bebean hutangnya dari Negara donor – The Washington Consencuss: (1) IMF; (2) World Bank; (3) WTO. Sudahkah Presiden SBY pada HUT beliau ke 60 telah mampu menjadi sang Elang Jawa bermata tajam bagi rakyat Indonesianya secara keseluruhan tanpa terkecuali dan meninggalkan kepentingan kepompoknya – baik sisa rezim Orde Baru maupun rezim nowadays binaanya sendiri? Bila memang abik dan benar kenapa tidak untuk me-LANJUTKAN? Bila belum maka tidak ada salahnya kita koreksi bersama-sama bukan? Namun apakah masih sebebas sang burung Elang Jawa yang terbang tinggi diangkasa tanpa harus bersentuhan dengan Pasal 310 dan 311 KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan dan Pencemaran Nama Baik?
2. Elang Jawa Spizaetus bartelsi
Identik dengan lambang negara Republik Indonesia Garuda Pancasila, (MacKinnon, J. 1993) dalam disertasiku Doktorku – Marissa Grace Haque Fawzi dari IPB – mengatakan bahwa burung Garuda/Elang Jawa ini memiliki ciri bertubuh langsing dengan ukuran sedang sampai besar. Panjang tubuh berkisar sekitar 60-70 cm (dari ujung paruh hingga ujung ekor). Kepalanya berwarna coklat kemerahan (kadru) dengan jambul yang tinggi menonjol – terkadang dari samping mirip burung kakak tua hanya lebih ekstrim – dengan 2 sampai 4 helai/lembar bulu sepanjang hingga 12 cm. Memiliki tengkuk berwarna coklat-kekuningan bahwan terkadang nampak keemasan bila terkena sinar matahari. Sangat anggun dengan kesan gagah perkasa. Jambul hitam dengan ujung putih, mahkota dan kumis berwarna hitam, sedangkan punggung dan sayap coklat gelap. Kerongkongan keputihan dengan garis (sebetulnya garis-garis) hitam membujur di tengahnya. Ke bawah, ke arah dada, coret-coret hitam menyebar di atas warna kuning kecoklatan pucat, yang pada akhirnya di sebelah bawah lagi berubah menjadi pola garis (coret-coret) rapat melintang merah sawo-matang sampai kecoklatan di atas warna pucat keputihan bulu-bulu perut dan kaki. Berbulu pada kaki menutup tungkai hingga dekat ke pangkal jari. Ekor kecoklatan dengan empat garis gelap dan lebar melintang yang nampak jelas di sisi bawah, ujung ekor bergaris putih tipis. Betina berwarna serupa, sedikit lebih besar. Iris mata kuning atau kecoklatan, paruh kehitaman, sera (daging di pangkal paruh) kekuningan, kaki (jari) kekuningan. Burung muda dengan kepala, leher dan sisi bawah tubuh berwarna coklat kayu manis terang, tanpa coretan atau garis-garis. Bunyi suara nyaring tinggi, berulang-ulang, klii-iiw atau ii-iiiw, bervariasi antara satu hingga tiga suku kata. Atau bunyi bernada tinggi dan cepat kli-kli-kli-kli-kli. Sedikit banyak, suaranya ini mirip dengan suara Elang Brontok meski perbedaannya cukup jelas dalam nadanya.
Sebaran elang ini terbatas di Pulau Jawa, dari ujung barat TUNK (Taman Nasional Ujung Kulon) hingga ujung timur di Semenanjung Blambangan Purwo. Namun demikian penyebarannya kini terbatas di beberapa wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan pegunungan. Sebagian besar lainnya ditemukan diseparuh belahan selatan Pulau Jawa. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) ini juga menyukai ekosistem hutan hujan tropika yang selalu hijau, di dataran rendah maupun pada tempat-tempat yang lebih tinggi. Mulai dari wilayah dekat pantai seperti di Ujung Kulon dan Meru Betiri, sampai ke hutan-hutan pegunungan bawah dan atas hingga ketinggian 2.200 m dan kadang-kadang 3.000 m dpl. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) ini menyukai hidup pada wilayah perbukitan yang berlereng. Burung Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) ini sangat tergantung pada keberadaan hutan primer sebagai tempat hidup dan berkembang-biaknya, sehingga tanpa hutan hijau tak ada kehidupan bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya – sustainability-nya.
Pada umumnya tempat tinggal elang jawa sukar untuk dicapai manusia walau sesungguhnya tidak s jauh dari lokasi aktivitas manusia. Walaupun ditemukan elang yang menggunakan hutan sekunder sebagai tempat berburu dan bersarang, akan tetapi letaknya berdekatan dengan hutan primer yang luas. Burung Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) adalah burung pemangsa, dan mereka berburu dari tempat bertenggernya di pohon-pohon tinggi dalam hutan. Dengan sigap dan tangkas menyergap aneka mangsanya yang berada di dahan pohon maupun yang di atas tanah, seperti pelbagai jenis reptil, burung-burung sejenis walik, punai, dan bahkan ayam kampung. Juga mamalia berukuran kecil sampai sedang seperti tupai dan bajing, kalong, musang, sampai dengan anak monyet. Masa bertelur tercatat mulai bulan Januari hingga Juni. Sarang berupa tumpukan ranting-ranting berdaun yang disusun tinggi, dibuat di cabang pohon setinggi 20-30 di atas tanah. Telur berjumlah satu butir, yang dierami selama kurang-lebih 47 hari. Pohon sarang merupakan jenis-jenis pohon hutan yang tinggi, seperti rasamala (Altingia excelsa), pasang (Lithocarpus dan Quercus), tusam (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), dan ki sireum (Eugenia clavimyrtus). Tidak selalu jauh berada di dalam hutan, ada pula sarang-sarang yang ditemukan hanya sejarak 200 sampai 300 m dari tempat rekreasi masyarakat disekitarnya.
Munkinkah kita memetaforkan bahwa sang burung Elang Jawa (Spizaetus bartelsi)
adalah elit pimpinan Indonesia yang ‘memangsa’ apapun sumber hidup dan kehidupan disekitar rentang wilayah hidupnya? Melihat peluang/opportunity dari ketinggian pada posisi elit pemerintahan pusat/daerah lalu menerkam mangsnaya tanpa ampun untuk kemudian disantap bagi kelangsungan hidupnya sendirian?
adalah elit pimpinan Indonesia yang ‘memangsa’ apapun sumber hidup dan kehidupan disekitar rentang wilayah hidupnya? Melihat peluang/opportunity dari ketinggian pada posisi elit pemerintahan pusat/daerah lalu menerkam mangsnaya tanpa ampun untuk kemudian disantap bagi kelangsungan hidupnya sendirian?
3. Elang Jawa Satwa yang Dilindungi
Mengambil sumber dari http://id.wikipedia.org/wiki/Elang_Jawa, didapatkan informasi bahwa Elang Jawa adalah Satwa yang Dilindungi serta tempat tinggalnya masuk dalam wilayah konservasi di Indonesia. Ketentuan hukumnya juga sangat jelas, kitapun wajib untuk mempelajarinya sebagai berikut:
a) Barangsiapa dengan Sengaja menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki;
b) Dengan Sengaja memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; (Pasal 21 ayat (2) huruf d), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat(2)).
Sebagai hewan yang masuk kedalam ketegori satwa langka yang harus berada didalam area konservasi, Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) adalah methapor/simbol nyata dari kondisi Indonesia hari ini yang telah hampir “memusnahkan” kekayaan intelektualnya sendiri warisan dari para founding fathers Soekarno-Hatta. Bila burung Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) dalam kesehariannya sekarang harus dikonservasi, maka tak beda dengan yang disimbolkannya sebagai Indonesia, harus mulai mengkonservasi nilai-nilai luruh dari makna filosofis Garuda Pancasila yang terasa sudah mulai amat luntur di Indonesia? Namun siapakah dari kita rakyat yang akan memulai pengkonservasiannya bila kita sudah tidak mungkin lagi banyak berharap pada elit pemerintah? Karena power tends to corrupt dan absolute power curropts absolutely! Dibutuhkan segera seorang leader with a strong vision dan a strong leadership as well. Sudahkah Presiden SBY memenuhi criteria tersebut atas nama dan untuk seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali – dilaur sekedar kompak dan berbagi didalam sisa Rezim Orde Baru dan Rezim baru yang dibentuknya? Bila sudah tentu kita tak harus mempertanyakan keterlibatan aktif Sri Mulyani dan Boediono terkait Korupsi dana talangan Bank Century Rp 7,3 Trilun,- yang diduga terkait dengan kampanye Pilpres kelompoknya tahun 2009 yang lalu bukan? Wallahualam bissawaab…
4. Elang Jawa pada HUT Presiden SBY
Terus apa hubungannya Elang Jawa tadi dengan HUT Presiden SBY dan kejadian menangisinya? Rasanya akan seperti itu pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan oleh anda semua para pembaca tulisanku ini.
Pasangan SBY-Boediono adalah pemenang Pres dan Wapres versi Pipres 2009-2014 yang baru saja kita lewati tanpa gejolak yang terlalu berarti – kecuali dibumbui sedikit dengan aroma bom Mariot dan Ritz sehingga membuat bertambahnya kehadiran marinir Amerika Serikat masuk keperairan NKRI dengan alasan ancaman laten terorisme fundamentalis Islam jaringan Jamaah Islamiah ‘temannya’ Al Qaida. Sebagai umma Islam yang menginternalisasi nasionalisme Indonesia, hari ini – ditambah dengan ambivalensi penegakan hukum konstitusional yang menlokomotifkan politik – membuat gejolak emosi dalam faith dan believe menjadi ‘meledak-meletup.’ Sifat Elang Jawa yang memangsa semuanya dan menangkap mangsa dengan ‘strategi tukik’ sangat tajam dengan ketepatan tinggi hanya dimiliki oleh mereka yang pernah berlajar serta lulus Ilmu Manajemen Strategik. Akan menjadi sempurna bila seorang militer yang memperlajarinya semacam Presiden SBY tatkala mengambil S2 beliau di Webster University, Amerika Serikat jurusan Strategic Management. Karenanya tidaklah mengherankan kalau sekedar membobot BSC (Ballance Scored Card) menjadi a piece of cake bagi beliau. Namun bukan berarti seorang Master yang menguasai BSC akan juga berarti sangat master dalam bidang HRSC (Human Resource Scored Card). Terbukti dengan kasus yang menurut saya sebagai mahasiswi pasca sarjana IPB memalukan bagi seorang Doktor lulusan terbaik dengan IPK 4 bulat jurusan Fakultas Ekonomi Pertanian ketika harus mengeluarkan 2 outputs yang sangat tidak scholarly, yaitu: (1) Kasus Blue Energy; dan (2) Kasus Padi Super Toy. Bilamana Presiden SBY menguasai bidang keilmuan pembobotan SDM (Sumber Daya Manusia) tentu akan lebih senang bergaul dengan LIPI (Lembaga ILmu Pengetahuan Indonesia) dan para Professors dari berbagai respectable universities didalam negeri dibandingkan dengan “sekedar cepat percaya” dengan Bapak Heru Lelono salah seorang penasihat pribadi beliau dari Cekeas Center, Bogor! Sehingga kesalahan yang sangat fundamental seperti itu dapat dihindari. Kedepannya tentulah logo atau simbol dari burung Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) menginginkan Indonesia mampu tajam melihat peluang serta menjawab tantangan zaman dengan cara bergandengan tangan dengan seluruh institusi riset dan universitas didalam negeri. Bukan sekedar mendengarkan – nyuwun sewu Mas Heru – ‘konsultasi bathiniah’ seorang Heru Lelono (with all of my respects to him).
5. Elang Jawa bagi Rakyat Adil-Makmur-Sentosa
Bagian dari satu set tulisan ini kuperntukkan khusus bagi Prof. Dr. Mahfud MD, SH, SU my inspiration dalam bidang Ilmu Hukum Konstitusi pasca kepulangan dari Gedung Mahkamah Konstitusi tanggal 9/9/2009 lalu. Ketika sebuah buku lama bersampul hijau warna PKB berjudul Demokrasi dan Konstitusi – menjelang lusuh – kutemukan lagi diruang TV bawah ditempat diaman aku baisa menemani Ikang Fawzi suamiku menonton TV sambil membaca buku “ekosobkum” membuat mala mini aku terus-menerus melakukan tarikan benang merah atas apa yang ditulis beliau didalam proses pencarian dari kegelisahan hukum yang ditulis beliau untuk thesis S2 dari Fakultas Sosial-Politik UGM dan apa yang beliau katakana langsung tertanggal tanggal 9/9/2009 lalu – demi menjaga stabilitas dan keamanan Indonesia menjelang pelantikan Presiden tanggal 20 Oktober 2009 besok ini! Memang beliau tidak leterlijk mengatakan demikian namun inti yang saya simpulkan adalah seperti itu. Setelah Prof Mahfud menyatakan kalau register PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) tidak ditutup maka seluruh Indonesia akan kembali berbondong-bondong mendaftarkan sengketanya, jadi diminta agar melanjutkan dengan tuntutan pidana saja terhadap KPU dan yang terkait dengan delik pidana penggelapan hukum, dan lain sebagainya.
Saya memang mencoba tersenyum bijak saat itu saat melihat aura wajah teduh Prof Mahfud yang selama ini saya kagumi buah pikiran kristis didalam buku-buku yang ditulisnya dengan kenyataan yang membuat sadar bahwa begitu kita ‘terjerumus’ kedalam sebuah sistem maka diri kita adalah refleksi atas personifikasi value dari sistem tersebut. Untuk detail dari berbagi cerita/pengalaman perbincangan saat perjumpaan eksklusif tersebut akan saya buat didalam tulisan terpisah agar tidak bias. Hanya inti dari apa yang hendak saya katakana disini adalah bahwa Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) yang memberikan rakyatnya pada kondisi adil-makmur-sentosa, wa bil khusus adil … ternyata dibelahan manapun di Indonesia dalam konteks hari ini adalah “UTOPIA” (angan-angan) belaka!
6. Elang Jawa dalam Pribadi Bangsaku
Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) adalah: (1) burung pemangsa, yang bertenggernya di pohon-pohon tinggi dalam hutan; (2) dengan sigap dan tangkas menyergap aneka mangsanya yang berada di dahan pohon maupun yang di atas tanah, seperti pelbagai jenis reptil, burung-burung sejenis walik, punai, dan bahkan ayam kampung. Juga mamalia berukuran kecil sampai sedang seperti tupai dan bajing, kalong, musang, sampai dengan anak monyet; (3) yang masa bertelur tercatat mulai bulan Januari hingga Juni; (4) yang memiliki sarang berupa tumpukan ranting-ranting berdaun yang disusun tinggi, dibuat di cabang pohon setinggi 20-30 meter di atas tanah; (5) yang sarangnya berada pada jenis-jenis pohon hutan yang tinggi seperti rasamala (Altingia excelsa), pasang (Lithocarpus dan Quercus), tusam (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), dan ki sireum (Eugenia clavimyrtus). Burung Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) ini juga merupakah burung yang solitude, penyendiri yang lebih sering sendiri ditengah keramaian.
Terkesima saya begitu mengingat logo Partai Demokrat dengan Burung Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) yang melekat pada simbolnya. Elang yang penyendiri, yang jeli, yang sigap, yang cermat yang sangat Strategic Thinking karena dapat melihat dengan jernih dari ketinggian diatas sana. Pertama logo Demokrat yang Berketuhanan dengan logo segitiga menuju ‘Tauhid’ diujung atasnya, kemudian ada warna bendera merah-putih didalamnya menunujukkan kenasionalis-religiusannya. Wahai… siapakah sang pencipta simbol yang baru kusadari belakangan akan makna terdalamnya? Two thumbs-up untuk dirinya! Namun begitu dilekatkan sang Elang Jawa bersamanya, maka kedua ujung alis mataku tiba-tiba mendadak langsung menjadi satu ditengah dahi. Seketika kusadari “karakter sigap” dari sang Elang yang sigap dan tangkas menyergap aneka mangsanya yang berada di dahan pohon maupun yang di atas tanah: (1) berbagai jenis reptil; (2) burung-burung sejenis walik, punai: (3) dan bahkan ayam kampung; (4) mamalia berukuran kecil sampai sedang seperti tupai dan bajing, kalong; (5) musang; (6) sampai dengan anak monyet. Menyiratkan methapore dari filosofi Presiden SBY seperti tertulis didalam bukunya yang ditulis oleh Dr. Dinno Pati Djalal berjudul “Harus Bisa.” Bukankah kemudian kita sadari bahwa semangat ‘harus bisa’ berarti sama halnya dengan menghalalkan segala cara demi untuk mencapai tujuan? Bukankah didalam menghalalkan segala cara apapun halangan dan rintangan akan dengan sigap ‘dimakan’ atau dilibas?
Seharusnya bila memang sang Elang Jawa itu menjadi simbol negara yang kita anggap mewakili karakter bangsa Indonesia, maka sebagai bangsa yang ‘merdeka dan berdaulat’ seharusnya kitapun dengan kejelian serta kesigapan tinggi akan mampu tampil seperti bangsa Yahudi yang memiliki kemakmuran yang tak tertandingi diseluruh dunia hari ini. Karenanya keberadaan sebagai simbol negara, masihkah sang Elang Jawa identik melekat dalam ‘Pribadi Bangsaku’? Bukankah kita semua sedang selalu kalah dan disantap oleh kelompok ‘predator’ lain yang lebih kuat layaknya seperti dalam mata rantai makanan dalam Ilmu Biologi?
Sesuatu menyantap siapa dalam konteks bagaimana dan tujuan apa?
Ataukah memang sang burung Elang Jawa memang hanya akan menjadi simbol karakter golongan tertentu dari suku bangsa Jawa tertentu untuk hari ini dan kedepannya? Apakah itu takdir kita sebagai bangsa dari Negara Kesatuan yang Bhineka dan Tungal Ika?
Press. Hal 104
Bogor: Biodiversity Conservation Project (LIPI-JICA-PKA). Hal 48